Indonesia merupakan negara yang banyak peraturan. Peraturan-peraturan tersebut diatur dalampembukaan undang-undang dan di landasi oleh pancasila. Jika tidak mematuhi peraturan-peraturan tersebut kita akan terkena sanksi berupa hukuman.
Salah satu masalah yang dihadapi bangsa ini adalah tidak adanya kepastian hukum. Belum terciptanya law enforcement di negeri ini terpotret secara nyata dalam lembaga peradilan. Media masa bercerita banyak tentang hal ini, mulai dari mafia peradilan, suap ke hakim, pengacara tidak bermoral sampai hukum yang berpihak pada kalangan tertentu.
Hingga sampai saat ini proses penegakan hukum masih buram. Reformasi hukum yang dilakukan hingga kini belum menghasilkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Keadilan masih dibayangi oleh kepentingan dan unsur kolusi para aparat penegak keadilan dinegeri yang ber-keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia ini.
Berbicara masalah reformasi hukum, tentu tidak terlepas dari peran berbagai pihak termasuk aparatur dan institusi yang bergerak di bidang hukum. Peran yang jelas tidak akan berarti apa-apa tanpa dukungan dan keterlibatan pihak lain terutama aparatur pemerintah yang bergerak diluar bidang hukum dan masyarakat secara umum.
Sistem hukum yang baik harus dimulai dari moral penegak hukum yang baik. Tapi di negeri ini moral penegak hukum sangat buram dan kacau. Karena baik polisi, jaksa, hakim, maupun pengacara terlibat dalam suatu mafia peradilan. Mereka melakukan proses jual beli, berdagang hukum diantara pelaku hukum tersebut. Moral dan keberanian dalam menegakan supremasi hukum masih minim dimiliki oleh penegak hukum di Indonesia. Sehingga banyak kasus-kasus hukum diselesaikan tetapi tidak memuaskan pelbagai pihak atau pun merugikan dilain pihak. Seperti saat ini,hanya mengambil 3 biji kakao dan 1 buah semangka sajarakyat miskin dituntut hukuman penjara selama 1 bulan dan 2 tahun sedangkan hukuman bagi para koruptor hanya ringan bahkan ada juga yang masih bebas berkeliaran.
Apakah keadilan hanya dimiliki para aparat, penguasa, dan orang-orang yang punya harta berlimpah?
Sedangkan rakyat kecil hanya jadi korban dari aparat-aparat negara yang tidak bertanggung jawab atas tugasnya?
Pemerintah Indonesia sangat berkomitmen memperkuat proses legeslasi untuk memberdayakan hukum bagi masyarakat miskin. Pemberdayaan hukum akan menjadi proses perubahan sistemik, sehingga kaum miskin akan dapat menggunakan hukum untuk melindungi dan memajukan semua hak dan kepentingannya.
Mendapatkan bantuan hukum merupakan hak asasi yang dimiliki oleh setiap orang. Hak asasi tersebut merujuk pada syarat setiap orang untuk mendapatkan keadilan, tak peduli dia kaya atau miskin. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kekecualian.
Berdasarkan pertimbangan, seyogianya fakir miskin dipelihara hak-haknya oleh negara (negara diwakili oleh pemerintah). Termasuk hak-hak untuk mendapatkan keadilan. Dalam praktiknya, fakir miskin atau yang diistilahkan sebagai masyarakat miskin, masih sulit untuk mendapatkan akses terhadap keadilan. Akses tersebut adalah jalan yang dilalui oleh masyarakat untuk menggapai keadilan di luar maupun di dalam pengadilan.
Kecenderungan negara berkembang, seperti Indonesia, ialah banyaknya masyarakat miskin di pedesaan. Peningkatan angka kemiskinan berdasarkan data tersebut di atas, menjadikan masyarakat miskin di pedesaan menjadi lebih menderita. Hal ini diperparah dengan penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat miskin di pedesaan di Indonesia yang telah sekian lama berjalan dengan buruk. Mekanisme penyelesaian masalah secara informal (musyawarah, pemerintah desa atau lembaga adat) menghadapi kendala budaya hirarki dan ketimpangan struktur kekuatan di tingkat lokal.
Profesionalisme para penegak hukum masih banyak dipertanyakan pelbagai kalangan. Isu mafia peradilan mewarnai kehidupan hukum di Indonesia. Independensi penegak hukum mulai dipertanyakan, bahkan seluruh pelaksana-pelaksana yang berkaitan dengan penegakan hukum dan pemberi keadilan diragukan. Persamaan hak dihadapan hukum (equality before the law) hanya sekedar pemanis dalam pelaksanaan hukum.
Adnan Buyung Nasution (2005) memberikan tiga poin pokok dari access to justice yaitu, hak untuk menggunakan dan/atau mendapatkan manfaat dari hukum dan sistem peradilan guna mendapatkan keadilan dan kebenaran material, jaminan dan ketersediaan sistem serta sarana pemenuhan hak (hukum) bagi masyarakat miskin, dan metode atau prosedur yang dapat memperluas akses keadilan bagi masyarakat miskin.
Menurut Agustinus Edy Kristianto ada dua hal yang perlu disorot jika kita benar-benar serius memperhatikan pemenuhan hak rakyat miskin mendapatkan keadilan, dalam hal pemberian bantuan hukum. Yang pertama, memurnikan peran advokat dan komitmennya. Kedua, langkah konkrit negara untuk menata sistem bantuan hukum yang dijamin oleh undang-undang.
Niat baik untuk memperluas akses keadilan bagi masyarakat miskin, marjinal, terpinggirkan, kurang diuntungkan pun membahana di seluruh pelosok negeri, termasuk di Indonesia. Tentu bukan tanpa alasan, tentu bukan tanpa tujuan dan motivasi. Bukan tidak mungkin berbeda-beda satu sama lainnya.
Tidak ada yang menolak tujuan mulia, terlebih meningkatkan akses keadilan bagi masyarakat miskin di negeri ini. Namun ketidakadilan di balik memperluas akses keadilan bagi masyarakat jelas sangat mengganggu nalar dan aspirasi keadilan itu sendiri.
Untuk mencegah proses jual beli dalam suatu mafia peradilan para penegak hukum harus mewujudkan keadilan yang selaras dengan mentalitas yang bermoral. Penegakan dan berbagai upaya pemerintah untuk mewujudkan keadilan yang dilakukan sekarang perlu mendapat dukungan positif dari semua eksponen bangsa. Apa yang telah dilakukan setidaknya merupakan itikad baik dari pemerintah untuk melaksanakan agenda reformasi. Belum tegaknya supremasi hukum dan indikasi adanya intervensi-intervensi dalam penegakan hukum di Indonesia menjadi tantangan kita semua.
Hukum merupakan patokan untuk mewujudkan keadilan menjadi barometer dalam kemajuan bidang lainnya. Masyarakat Indonesia pun harus memperjuangkan hukum yang bersih, independent, dan bebas dari kepentingan politik.
Huda alfiansyah, FISIP, Ilmu Komunikasi kelas 1A 6662091022
Senin, 07 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar